KERETA API TERAKHIR: Cerita Fiksi Heroik yang diakui Kemendikbud

  Akhir tahun 2019 kemarin, tersiar berita bahwa Kemendikbud berhasil merestorasi film 'Kereta Api Terakhir'. Salah satu film perjuangan pada masanya ini dinilai memiliki moral value yang sangat mengedukasi. Namun, seberapa bernilainya film ini sampai direstorasi oleh Kemendikbud?

Poster restorasi film 'Kereta Api Terakhir' tahun 2019

LATAR BELAKANG

    Cerita ini dikarang oleh seorang sastrawan bangsa bernama Slamet Danusudirjo yang populer dengan nama Pandir Kelana. Saat itu, ia menulis cerita ini dalam kemasan sebuah novel berjudul Kereta Api Terakhir ke Djokjakarta: Roman Revolusi '45. Sebelumnya, ia juga dikenal sebagai novelis dan karya - karyanya juga populer pada masanya seperti Ibu Sinder, Bara Bola Api, Suro Buldog, dll. Novel Kereta Api Terakhir ini mengambil tema masa - masa perjuangan Pasca-Kemerdekaan. Saat itu, Pandir Kelana memilih untuk mengambil scene Agresi Militer 1 pada tahun 1947. Bahkan, cerita ini lengkap dengan ulasan singkat mengenai kegagalan Perundingan Linggarjati yang ditandatangani pada 25 Maret 1947.

   
Cover novel cetakan sekitar 1990an

 Sejak era 1970an memang banyak karya novel yang diangkat menjadi film, diantaranya; Karmila (1975), Cintaku di Kampus Biru (1976), Kabut Sutra Ungu (1979), & Bunga Cinta Kasih (1981). Dan beruntungnya, Kereta Api Terakhir ini juga ikut difilmkan pada tahun 1981. Film yang banyak mendapat kontribusi dari TNI & PJKA ini juga  dibintangi oleh aktor & aktris profesional seperti WD Mochtar, Sofia WD, Marlia Hardi, Doddy Sukma, HIM Damsyik, Deddy Sutomo, Sunjoto Adibroto, Wolly Sutinah, hingga penyanyi kenamaan Gito Rollies. Film ini disutradarai oleh G. Dwipayana & produsernya adalah Mochtar Sumodimejo. 

SINOPSIS

    Kolonel Cokronegoro dari Markas Besar Yogyakarta mengarahkan Letnan Firman & Letnan Sudadi untuk membawa armada kereta - kereta yang sudah transit di Purwokerto untuk ditarik ke Yogyakarta. Armada tersebut dibawa dari Jakarta, Bandung, Semarang, dll. Disebutkan, Tegal akan menjadi sasaran utama Belanda karena terhubung dengan Jakarta, Bandung, & Semarang. Tugas Letnan Sudadi & Firman ikut dibantu oleh Sersan Tobing dengan segala aksen Batak yang diceritakan yang menambah bumbu - bumbu cerita. Berangkatlah kereta mereka dari Yogyakarta menuju Purwokerto.

    Setibanya di Purwokerto, mereka bertiga diantarkan menghadap Gatot Subroto. Firman & Sudadi yang menghadap Gatot Subroto, sedangkan Tobing menunggu di luar. Untuk meghibur pejuang-pejuang lainnya yang ada di situ, ia memainkan gitar yang ada disana sambil menyanyikan lagu 'Rindu Lukisan' karya Ismail Marzuki & ia sukss memikat wanita idamannya. Usai menghadap Gatot Subroto, mereka bertiga diantarkan ke rumah Kapten Pujo untuk beristirahat sejenak sebelum malamnya berangkat ke Yogyakarta. Disinilah, Firman bertemu dengan cinta pada pandangan pertamanya, Retno Windardi.

    Kembali ke Stasiun Purwokerto, orang-orang sudah berdesak-desakan di depan hingga peron stasiun karena diduga adanya mata-mata Belanda yang menakut-nakuti bahwa Belanda sudah sampai di batas kota. Di kantor PPKA, diberitahukan bahwa akan ada 5 kereta yang diberangkatkan dari Purwokerto menuju Yogyakarta.

    1. KA 1 PWT-YK: 00.00 WIB dikawal Letnan Sudadi

    2. KA 2 PWT-YK: 00.30 WIB

    3. KA 3 PWT-YK: 01.30 WIB

    4. KA 4 PWT-YK: 03.00 WIB dikawal Trika

    5. KA 5 (Terakhir) PWT-YK: 04.00 WIB dikawal Letnan Firman

    Sayang, Retno Windardi sudah memiliki pasangan seorang lelaki berpendidikan, yang sudah terlebih dulu memiliki. Saat menunggu jatahnya mengawal KA 5, Firman tertidur & bermimpi tentang cintanya yang dulu, dimana ia mendesak Firman untuk sekolah daripada perang. Mimpinya itu seakan mengingatkannya kepada Wida (kekasih lama Firman yang memilih sekolah daripada perang). 

    Tibalah saatnya KA 5 tiba di Stasiun Purwokerto, Letnan Firman ditemani oleh Kondektur Bronto & Mandor Jalur Sastro. Karena KA 5 akan kesiangan, maka disiapkan 2 lori di depan lokomotif untuk melindungi kereta dari serangan pesawat tempur. Selang beberapa waktu meninggalkan Stasiun Purwokerto, Firman yan berada di lori depan bertemu seorang wanita yang mirip dengan Retno Windardi yang ditemuinya di rumah Kapten Pujo. Wanita itu ingin dipanggil 'Retno' oleh Letnan Firman tanpa diberitahu siapakah dirinya itu.

Penumpang kocar-kacir di Stasiun Kebasen

    Kereta tiba di Stasiun Kebasen saat fajar menyingsing, & stasiu terlihat sepi bak stasiun mati. Diperoleh info bahwa jalur setelah Kroya banyak dibom & rusak berat. Tiba-tiba, pesawat Cocor Merah datang menyerang kereta sambil menghancurkan rel menuju Kroya. Orang-orang di dalam kereta seketika kocar-kacir berhamburan lari berlindung & banyak yang terluka. Sersan Tobing yang mengurus korban-korban luka bersama Palang Merah, sedangkan Letnan Firman berunding dengan anggota tentara lainnya. Pilihan yang diajukan Firman adalah semua penumpang diturunkan & kereta melaju non-stop sampai Yogyakarta atau melaju dengan penumpang dengan risiko korban berjatuhan. Usai perbaikan jalur yang dipimpin Mandor Jalur Sastro, kereta kembali berangkat ke Kroya meskipun ada banyak penumpang yang memutuskan untuk berjalan kaki menuju Yogyakarta.

    KA 5 PWT-YK di Stasiun Kroya

    Kereta tiba di Stasiun Kroya & memang berhenti lama menunggu selesainya perbaikan jalur lepas stasiun Kroya. Di situ, Firman & 'Retno'makan di sebuah warung yang sepi supaya tidak diganggu orang-orang. Namun, pasar yang berada di depan stasiun kembali diserang Cocor Merah sehingga memporak-porandakan pasar. Banyak orang tak bersalah tewas, termasuk wanita pujaan Sersan Tobing. Maka, Letnan Firman memutuskan untuk menyembunyikan kereta di Terowongan Ijo agar lebih aman.

    Hanya beberapa saat setelah meninggalkan Stasiun Kroya, sebuah gerbong barang yang diletakkan di ekor rangkaian terbakar hebat sehingga membuat panik kereta yang masih berjalan. Yang kerennya, pasukan tentara yang berada di lori depan lari melewati atap kereta untuk menghindari desak - desakan dengan para penumpang. Akhirnya, Sersan Tobing berhasil melepaskan gerbong tersebut sebelum gerbong tersebut akhirnya meledak. Padahal, petugas PPKA Stasiun Sumpiuh sudah menyiapkan air untuk memadamkan api d gerbong belakang & ternyata kereta terus berjalan denga gerbong belakang yang sudah dilepas.

Terowongan Ijo

    Kereta api kemudian disembunyikan di dalam Terowongan Ijo, sedangkan Letnan Firman dan Mandor Jalur Sastro meninjau kerusakan jalur di depan. Firman bertemu dengan kawan lamanya, Willy Parengkuan dkk. yang membantu perbaikan jalur. Bersama Mandor Jalur Sastro, jalur ditinjau dan ditemui banyaknya kerusakan akibat bom. Tak lama berselang, Cocor Merah muncul dan merusak kembali jalur-jalur. Bahkan, banyak korban berjatuhan, termasuk Mandor Jalur Sastro.

    Melihat dari kejauhan, Sersan Tobing bersama Kondektur Bronto melepas lokomotif dari rangkaiannya dan melakukan penyerangan terhadap Cocor Merah. Beberapa rekan tertembak, akhirnya pesawat Cocor Merah berhasil ditembak jatuh. Hingga sampailah lokomotif di depan kerusakan jalur, dimana Mandor Jalur Sastro tertembak mati. Ia kemudian dimakamkan di sebuah lubang di tengah rel dan didoakan. Lokomotif kembali ke terowongan, dan sorenya kereta kembali berangkat.

    Dalam perjalanan malam. Kondektur Bronto melaporkan bahwa ada seorang wanita hendak bersalin. Ditolong 'Retno' dan Letnan Firman, wanita itu bersalin dengan selamat da melahirkan bayi perempuan. Ibu bayi itu meminta 'Retno untuk menamai bayi itu, dan 'Retno' menamainya Retno Firmani. 

    Usai bersalin itu, Letnan Firman sempat berbicara sebentar dengan Kondektur Bronto karena bingung tentang siapakah 'Retno' di dalam kereta api terakhir itu. 'Retno' yang ditanyai oleh Letnan Firman yang sebenarnya ingin menyatakan cintanya padanya, namun seakan-akan dihalangi oleh dirinya yang lain.

    Malamnya, kereta tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. 'Retno' disambut ayahnya dengan bahagia dan dia diantar masuk ke ruang tunggu stasiun. Ibunya juga menyambutnya dengan sukacita. Di situ, 'Retno' menyadari ada seorag kembarannya yang sama persis dengannya, yaitu Retno Windardi. Selama ini, 'Retno' yang bersama Letnan Firman adalah Retno Widuri yang terpisah dari ibunya. Diceritakan dalam tradisi Jawa, seorang anak jika dilahirkan bertepatan dengan ulang tahun ibunya maka harus diasuh orang lain. Satu Retno (Widuri) bersama ibu kandungnya pergi berpindah-pindah menghindari polisi, sedangkan satu Retno lainnnya (Windardi) bersama ibu angkatnya.

    Letnan Firman kembali berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta bersama kereta api terakhir yang melanjutkan perjalanan hingga ke Timur. Retno Windardi dan Retno Widuri yang sama-sama mencintai Letnan Firman akhirnya harus merelakan Letnan Firman pergi berperang. 

PEMERAN

Pemeran Utama: 

1. Pupung Haris sebagai Letnan Firman

2. Yana Fachriana sebagai Retno Widuri

Dibintangi oleh:

1. Gito Rollies sebagai Sersan Tobing

2. Deddy Sutomo sebagai Kondektur Bronto

3. WD Mochtar sebagai Darbo Husodo (Ayah Kandung Retno)

4. Sofia WD sebagai Bu Darbo Husodo (Ibu Kandung Retno)

5. Doddy Sukma sebagai Kapten Pujo

6. Soendjoto Adibroto sebagai Gatot Subroto

7. Marlia Hardi sebagai Bu Sastro Hutomo (Ibu Angkat Retno)

8. Wolly Sutinah sebagai Pemilik Warung

9. IM Damsyik sebagai Kolonel Tjokronegoro

10. Ramly Ivar sebagai Masinis

Pemeran Tambahan:

1. Rizawan Gayo sebagai Letnan Sudadi

2. Yennie Fachriani sebagai Retno Windardi

3. Imran Pangeran sebagai Mandor Jalur Sastro

4. Amran S. Mouna sebagai Sastro Hutomo (Ayah Angkat Retno)

5. Budi Moealam sebagai Willy Parengkuan

Anggota Produksi

1. G. Dwipayana sebagai Produser

2. Mochtar Soemodimedjo sebagai Penulis Skenario & Sutradara

3. Pandir Kelana sebagai Pengarang Cerita

Kerjasama dengan:

1. Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)

2. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara & Angkatan Darat (T.N.I. A.U. & T.N.I. A.D.)

3. Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

4. Pemerintah Daerah Jawa Tengah & D. I. Yogyakarta (Pemda Jateng & D.I.Y.)

5. Assitive Technology Laboratorium (ATLAB), Australia

PRODUKSI

    Kereta Api Terakhir diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada tahun 1980-1981. Film ini melibatkan sekitar 15.000 orang termasuk aktor-aktris yang berperan di dalamnya, juga termasuk beberapa peran dan bantuan dari negara lain seperti Jepang dan Australia. Film Kereta APi Terakhir' resmi dirilis ke publik pada tahun 1981. 

Poster Kereta Api Terakhir waktu perdana rilis (1981)

    Dalam membuat film ini, PPFN bekerja sama dengan ATLAB, Australia sehingga film ini sudah mendapatkan sertifikasi 'Dolby Stereo' dari Australia. Selain itu, PPFN juga bekerja sama dengan pihak TNI AU dan AD sebagai penyedia persenjataan & pesawat tempur selama syuting film. Bahkan, film ini secara penuh turut kerja sama dengan PJKA selaku penyedia lokomotif & sarana perkeretaapian. 

CC50 19 di Dipo Purwakarta,1980 sebelum dibawa ke Purwokerto

    Untuk membantu produksi film ini, PJKA menyediakan dua buah lokomotif untuk diikut sertakan dalam produksi film Kereta Api Terakhir ini. Lokomotif tersebut adalah CC50 19 milik dipo Purwakarta (PWK) & C28 13 milik dipo Purwokerto (PWT). CC50 19 yang menjadi bintang dalam syuting film ini diboyong jauh-jauh dari Purwakarta. Pada saat itu, kondisi CC50 19 masih sangat baik karena performanya masih mampu serta masih ada ornamen-ornamen kuningan yang terpasang di badan lokomotif. Sedangkan itu, C28 13 yang terlihat sebagai lokomotif sampingan masih terlihat sehat dan dalam kondisi baik sehingga menjadi salah satu lokomotif yang terpilih dalam syuting film Kereta Api Terakhir.

    Sekitar tahun 2019, Kereta Api Terakhir turut serta dalam daftar film yang direstorasi oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan (Kemendikbud). Film yang memiliki nilai semangat perjuangan yang tinggi ini menjadikannya sebagai alasan restorasinya. Sebenarnya, copy dari film ini juga dalam kondisi terdesak sehingga harus segera diselamatkan. Selama kurang lebih 6 bulan lamanya dari Juni 2019, film Kereta Api Terakhir direstorasi. 

    Ada beberapa bagian yang tidak terselamatkan sehingga terpaksa dipangkas. Durasi film juga diperpendek dari awal 170 menit semnjadi 120 menit saja. Akhirnya, Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) meluncurkan kembali film Kereta Api Terakhir di bioskop CGV, FX Mal, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (18/12/2019). Film Kereta Api Terakhir juga telah dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dengan kulaifikasi R13+. 

    Sebelum film ini, Pusbangfilm bersama Kemendikbud juga pernah merestorasi beberapa film lainnya. Film-film tersebut adalah; Darah dan Doa (1950) pada tahun 2013, Pagar Kawat Berduri (1961) pada tahun 2017, & Bintang Kecil (1963) pada tahun 2018. Film Kereta Api Terakhir ini diberikan layanan pinjaman untuk komunitas masyarakat atau pun media pembelajaran oleh Pusbangfilm & Kemendikbud. Namun, film ini tidak mendapatkan izin untuk dikomersilkan, yang artinya film ini tidak beredar luas secara bebas tanpa izin pemiliknya. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

C27: Si 'Cepat' yang 'Tersingkirkan'

CC50: 'BERGKONINGIN' DARI PRIANGAN

KLB 3 Januari 1946: Momen Menegangkan 'kabur' dari Jakarta