CC50: 'BERGKONINGIN' DARI PRIANGAN

     Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu saat melihat lokomotif di bawah? Tentunya tak jauh - jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa. 

CC50 29, ikon Museum Kereta Api Ambarawa

    Yup, lok dengan seri CC50 29 ini menjadi ikon Museum Kereta Api Ambarawa sejak tahun 1980 saat lok ini tiba di Stasiun Ambarawa. Tapi, memangnya seperti apa 'sih kisah CC50 ini sampai bisa menjadi ikon Museum Kereta Api Ambarawa?

LATAR BELAKANG

    Jadi, sebelum hadirnya CC50 di Indonesia, sudah banyak lokomotif tangguh bertebaran di Tanah Jawa. Pertama kali adalah SS 500 atau saat ini dikenal dengan nama BB10. Lok yang datang dari Hartmann & Schwartzkopff di Jerman ini pertama kali diciptakan pada tahun 1899. Lok dengan tenaga kecil ini mulai tergeser saat hadirnya lok SS 1200 ke Bumi Priangan. Setidaknya, BB10 12 masih terselamatkan di Museum Kereta Api Ambarawa.

SS 500 (BB10) di Cilacap

    Dalam rentan waktu yang berdekatan, Staatsspoorwegen (SS) memesan lok Articulated Mallet pertama di Hindia-Belanda bernomor SS 520 (batch 1) & SS 550 (batch 2) atau yang leih dikenal CC10 dari Hartmann & Schwartzkopff, Jerman serta Werkspoor, Belanda antara 1904 - 1912. Meskipun dibuat dalam rentan waktu yang berdekatan, lok ini setidaknya dapat meliuk dengan radius tikungan yang lebih kecil sehingga lebih sesuai doperasikan di pegunungan. Namun karena tenaganya yang tidak berbeda jauh dengan SS 500, maka nasibnya kurang lebih sama hanya saja CC10 sama sekali tak terselamatkan ke Museum manapun.

SS 367 (CC10)

    Pada tahun 1912, SS membeli lokomotif SS 800 atau yang saat ini diberi nomor F10. Lok yang awalnya ditujukan untuk menggeser posisi SS 520 & SS 550, apalagi dengan tenaga dua kali lipat lebih besar dari SS 500. Namun, karena rangka roda penggerak yang panjang berbdanding terbalik dengan radius tikungan di Pegunungan Priangan yang sempit membuat roda lok cepat aus. F10 justru sukses di Jawa Timur karena dapat melaju kencang hingga 85 km/jam di jalur yang relatif datar.

SS 811 (F10)

    Maka pada tahun 1916 - 1919, SS memesan lok sekelas Big Boy kepada American Locomotive & Co. (ALCo) lantaran berkecamuknya Perang Dunia I. Lok pertama bernomor seri SS 1201 - 1208 (DD50) tiba pada tahun 1916. Namun, karena dirasa masih kurang sempurna, maka dipesan SS 1209 - 1220 (DD51) pada tahun 1919 dengan sejumlah penyempurnaan. Namun, penyempurnaan tersebut malah menambah bobotnya menjadi 138 ton apalagi keduanya hanya mampu berjalan 40 km/jam.

SS 1200 batch 1 (DD50)

    Begitu juga saat SS mendatangkan SS 1250 (DD52) sebagai penyempurnaan besar - besaran. Meski mampu melaju hingga 50 km/jam, SS 1250 masih memiliki permasalahan yang sama dengan SS 1200 (DD50 & DD51), yaitu backpressure yang meretakkan rangka lok apalagi pada kasus SS 1250 lebih parah. Akhirnya pada tahun 1926 dilakukan uji coba modifikasi terhadap SS 1260 yang terbukti berujung sukses. Maka, dilakukanlah modifikasi terhadap seluruh SS 1250 & SS 1200. 

SS 1250 (DD52)

    Pada fase inilah mulai timbul wacana untuk meciptakan lok Articulated Mallet baru untuk menghemat biaya operasional lok raksasa sekelas SS 1200 & SS 1250.

PEMBUATAN

    Pada tahun 1926 saat dimodifikasinya seluruh armada SS 1200 & SS 1250, SS bekerja sama dengan Switzerland Locomotive & Machineworks (SLM) di Winterthur, Swiss. Perancangan ini menggunakan tipe roda (1C')C' seperti CC10, namun dengan desain seperti DD52.

Rancangan desain CC50

    SS yang saat itu merupakan Perusahaan Negeri Hindia-Belanda juga ikut bekerja sama dengan Werkspoor di Amsterdam, Belanda. Sebanyak 16 unit dibuat oleh SLM, & 14 unit dibuat oleh Werkspoor. Total 30 unit dikirimkan antara tahun 1927 - 1928. 

SS 1628 (CC50 28)

    SS memberi nomor lok ini SS 1600 & ditempatkan utamanya di kawasan Pegunungan Priangan. Secara teknis, SS 1600 mempunyai daya 1190 hp & mampu melaju hingga 55 km/jam. Agar tak mengalami masalah yang sama dengan keluarga SS 1200 & SS 1250, maka rancangan SS 1600 juga sudah disesuaikan dengan modifikasi tersebut.

OPERASIONAL

    SS 1600 disebar ke seluruh kawasan Pegunungan Priangan karena performanya yang lebih optimal ketimbang SS 1200, apalagi SS 1250. Namun pada era Malaise tahun 1930, SS memindahkan alokasi SS 1600 ke Purwakarta, Purwokerto, Madiun, & Sidotopo. Sedangkan di Priangan, SS menempatkan SS 1400 atau yang saat ini dikenal D14. 

SS 1600 (CC50)

    Pada masa Pendudukan Jepang, nomor SS 1600 diubah menjadi CC50 & tidak ada cerita pada masa ini. Kisah - kisah baru bermunculan Pasca-Kemerdekaan RI.

1. CC50 19 ditinggalkan di Kroya dalam kondisi tidak dapat digunakan (1948)
2. CC50 02 meledak di Bendul sehingga tidak dapat digunakan kembali (1968)
3. CC50 30 diboyong ke Jakarta untuk Parade Lokomotif (1970)
4. CC50 03 meninggalkan depo Ambarawa ke Cibatu (1973 - 1978)
5. CC50 07 meninggalkan depo Ambarawa ke Madiun (1973 - ?)
6. CC50 01 dipenggal akibat insiden & digantikan dengan body CC50 30 & tender CC50 19 (1982)

    Kisah heroik dari CC50 adalah saat CC50 19 dipilih menjadi sarana pendukung film 'Kereta Api Terakhir' pada tahun 1981. CC50 19 yang merupakan depo Purwakarta dipindahkan ke Cibatu pada 1980an sebelum diboyong ke Purwokerto untuk syuting film.

CC50 19 saat syuting film 'Kereta Api Terakhir' di Kroya, 1981

    Cerita tentang CC50 29 yang menjadi ikon Museum Kereta Api Ambarawa ini kemungkinan sudah berlangsung sejak 1949. Pada saat itu, memang banyak lok - lok penting yang diselamatkan Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKA RI) disimpan di Los Bunder Lempuyangan. Saat Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, lok - lok penting tersebut dibawa ke Semarang via Ambarawa karena jalur via Solo ke Gundih kemungkinan sudah banyak disabotase pejuang Indonesia.

CC50 29 di Museum Kereta Api Ambarawa, 1980

    Pada tahun 1973, tercatat ada 3 buah lok CC50 masih tersimpan di Depo Lokomotif Ambarawa. Ketiganya itu adalah CC50 03, CC50 07, & CC50 29. CC50 03 & CC50 07 masih aktif beroperasi hingga tahun 1980an meskipun tercatat CC50 03 dipindahkan ke Cibatu & CC50 07 dipindahkan ke Madiun kurang lebih saat jalur Ambarawa ke Kedungjati ditutup pada tahun 1976. Dan, kedua lok tersebut nyatanya tidak selamat & hanya menyisakan CC50 29 sendiri di Stasiun Ambarawa sampai akhirnya menjadi koleksi Museum pada tahun 1978 saat Museum Kereta Api Ambarawa dibuka.

CC50 01 di Museum Transportasi TMII, 1995

    Saksi kedua lok CC50 adalah 'Si Gombar' CC50 01. CC50 sendiri pernah dikabarkan mengalami insiden yang menyisakan kepala CC50 01 yang masih utuh. Kemungkinan, badan CC50 01 yang kini dipajang di Museum Transportasi TMII itu adalah milik lok CC50 30 yang kini tersisa kepalanya saja di Depo Lokomotif Cibatu. Selain itu, tender yang dipasangkan juga merupakan milik CC50 19. Maka dari itu, fisik lok ini kemungkinan adalah 'kanibalisme' dari CC50 19 & CC50 30.

CC50 22 usai restorasi di Utrecht, Belanda

    Saksi terakhir lok CC50 adalah CC50 22 yang dimuseumkan di Het Spoorwegmuseum di kota Utrecht, Belanda. CC50 22 yang merupakan milik Depo Lokomotif Purwokerto dihadiahkan kepada Belanda pada tahun 1981. Usai tiba di Pelabuhan Rotterdam, CC50 22 direstorasi di Utrecht & statusnya kini menjadi koleksi milik Negara.

KESIMPULAN
    CC50 adalah salah satu lokomotif terbaik di Indonesia. Performanya yang handal, berpengalaman, & lebih efisien untuk digunakan di tempat lain menjadikan lok ini sebagai lokomotif yang sukses. Kini, CC50 bisa kita lihat di museum - museum sambil mengingat lagi masa jayanya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

C27: Si 'Cepat' yang 'Tersingkirkan'

KLB 3 Januari 1946: Momen Menegangkan 'kabur' dari Jakarta