C27: Si 'Cepat' yang 'Tersingkirkan'

     Kalau kamu mendengar kata 'lokomotif cepat' dalam Kamus Lokomotif Uap di Indonesia, nama-nama yang populer pasti C53, C28, atau mungkin C50. Tapi pernahkah kamu mendengar seri lokomotif C27? Tentu jarang terdengar, bukan? Hmm... Bagaimana ceritanya ya?

C27 10 di Museum Transportasi TMII, 1995

LATAR BELAKANG

    Di era 1910 ke bawah, SS berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan pelayanan kereta api cepat, baik penumpang atau barang. Pada masa itu, lokomotif cepat yang tersedia tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh SS. Stok lokomotif tersebut di antaranya adalah seri SS 600 atau B51 yang hadir pada awal abad ke-20. Dimana sebenarnya seri ini termasuk seri penyempurnaannya, yaitu seri SS 650 (B53) tidak dapat memenuhi berat rangkaian yang harus ditarik. Ditambah lagi kesibukan SS di beberapa rute dekat seperti Batavia-Bandung & Surabaya-Malang juga mulai semakin sibuk.

    Pada rute Jakarta-Bandung sebelum 1910, kereta-kereta ditarik oleh lokomotif kecil seperti seri SS 400 atau C11. kecepatan yang terbatas hanya 50 km/jam membuat waktu tempuh sangat panjang. Ditambah lagi, jalur menuju Bandung pada saat itu harus melewati Buitenzorg (Bogor) di sisi selatan Batavia. Jalur yang terkenal curam dengan tikungan yang tajam ini tentu semakin menghambat perjalanan kereta.

    Sama juga seperti yang ada di rute Surabaya-Malang. Walaupun sebenarnya ada lok seri SS 200, pada praktiknya lokomotif tersebut lebih sering melayani rute Surabaya menuju barat dibandingkan selatan. Masih dengan armada SS 400, jalur Surabaya-Malang yang sebenarnya tidak seberat jalur Batavia-Bandung justru lebih dipersulit karena kemampuan menarik rangkaian SS 400 sangat terbatas. 

    Kalau pun ada lokomotif sekelas SS 600 atau SS 650 yang diceritakan di awal tadi, ternyata operasionalnya justru ditempatkan di beberapa tempat yang tidak berhubungan. SS 600 yang relatif lebih kecil sebenarnya mampu melaju hingga 75 km/jam. Begitu juga SS 650 yang dapat melaju hingga 80 km/jam. Namun, SS 600 lebih sering digunakan untuk menarik kereta cepat antara Yogyakarta hingga menjelang Banjar. Sedangkan, SS 650 lebih sering digunakan untuk menarik kereta cepat antara Surabaya menuju Madiun, hingga mendekati Surakarta.

PRODUKSI 

   Pada awal tahun 1910, SS melakukan pemesanan lokomotif kepada beberapa perusahaan di Eropa, diantaranya; SLM (Swiss), Armstrong-Whitworth (Belanda), Hartmann (Jerman), & Werkspoor (Belanda). Total didatangkan 55 unit lokomotif antara tahun 1910 s.d. 1922 yang terdiri dari 16 unit lok seri SS 700 (C50) & 39 unit seri SS 1100 (C27). SS 700 didatangkan kisaran tahun 1910 s.d. 1914, sedangkan SS 1100 didatangkan kisaran tahun 1916 s.d. 1922. 

SS 1100 (C27) dari Armstrong-Whitworth

    Pada saat awal dinasan SS 1100, didapatkan hasil bahwa lokomotif ini sanggup menarik rangkaian dengan tenaga 760 hp dengan kecepatan maksimum 85 km/jam. Begitu didapatkan hasil tersebut, SS 1100 kemudian didinaskan untuk menggantikan peran lokomotif SS 650 untuk menarik kereta barang & penumpang dengan cepat di Jawa Barat & Jawa Timur. SS 1100 didinaskan untuk dinasan jarak dekat karena SS 1100 dirancang dengan kapasitas tangki air yang 'cukup' untuk rute-rute jarak dekat. Kadang-kadang, SS 1100 juga didinaskan menarik kereta barang bersama lokomotif SS 800 (F10) di kawasan Jawa Tengah. 

NASIB

    Merasa perlu untuk mendatangkan armada baru, kemudian didatangkanlah 20 unit lok SS 1000 buatan Werkspoor & 58 unit lok SS 1300 dari Hartmann, Henschel, & Esslingen (Jerman). Didatangkan kisaran tahun 1920 s.d. 1922, SS 1300 seketika 'membunuh' peran SS 1100. Dinasan kereta cepat Batavia, Bandung, & Surabaya semuanya direbut oleh SS 1300. Seketika itu, SS 1100 hanya didinaskan untuk menarik kereta dalam lingkup Batavia, Bandung, & Surabaya. Karena jalur dalam di Batavia perlahan-lahan sudah mulai dielektrifikasi, akhirnya SS 1100 'disingkirkan' ke Rangkasbitung, Kutoarjo, Kertosono, Blitar, Malang, & Jember. 

C27 39 di Rangkasbitung, 1980

    Saat Jepang menduduki Hindia-Belanda, nama SS 1100 diubah menjadi C27 & perannya kurang lebih sama dengan nasibnya dengan SS. Ada kemungkinan beberapa armada C27 'tidak terawat' karena Jepang juga lebih memilih mengoperasikan SS 1300 yang diubah mereka menjadi C28. Hingga kemerdekaan Indonesia, tercatat pada tahun 1969 terdapat 16 unit di Jawa Barat, 5 unit di Jawa Tengah, & 13 unit di Jawa Timur, serta 5 unit sisanya dinyatakan 'afkir' (waktu tidak diketahui). Masa-masa akhir operasional C27 hanya didinaskan untuk menarik kereta lokal di Rangkasbitung, Kertosono, dan Jember. Kini tersisa 2 unit C27 dimuseumkan, yaitu; C27 10 di Museum Transportasi TMII & C27 28 di Museum Perkeretaapian Ambarawa.

KESIMPULAN

    Sejarah C27 ini menunjukkan tentang ambisi besar SS yang selalu ingin terdepan dalam perkeretaapian di Hindia-Belanda, sampai menjadi tamak. Bayang-bayang C28 yang terus didambakan SS membutakan pandangannya terhadap apa yang sudah dimilikinya. Cerita C27 kini tersimpan rapi di Museum dan ceritanya akan tetap terdengar meskipun perlahan mulai terpinggirkan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CC50: 'BERGKONINGIN' DARI PRIANGAN

KLB 3 Januari 1946: Momen Menegangkan 'kabur' dari Jakarta